PROSES PEMEROLEHAN BAHASA ANAK
MAKALAH
Dosen Pengampu : Didit Dwi Jayanto M.Pd
Kelompok 6
PROGRAM STUDI
PGSD
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2012
PROSES PEMEROLEHAN BAHASA ANAK
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas Mata Kuliah
Bahasa Indonesia pada program studi S1 Pendidikan Dasar
Disusun
Oleh :
1. Ali Mustofa
( 118620600098 )
2. Rischa
Ayuni ( 118620600106 )
3. Iwan
Pranoto ( 118620600129 )
4. Riri
Indrayani ( 118620600139 )
5. Muhammad
Alifih ( 118620600157 )
PROGRAM STUDI
PGSD
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah
SWT yang telah m,emberikan rahmat,hidayah,dan inayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang Proses Pemerolehan Bahasa Anak ini dengan
baik.Meskipun ini jauh dari sempurna tapi kami akan berusaha untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik.
Kami juga memohon untuk para pembaca
ikut berpartisipasi sekedar membaca makalah ini untuk menambah wawasan dan
pengeetahuan.Semoga makalah ini bermanfaat.
Sidoarjo, 2012
Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah suatu simbol yang
digunakan untuk berkomunikasi antar individu lain. Anak memperoleh bahasa
itu melalui teori , tahapan dan strategi.Dimana disini kita akan membahas
tentang bagaimana seorang anak itu memperoleh bahasa dari mulai dia kecil
sampai merke beranjak dewasa.Seperti yang akan kita bahas dalam makalah ini.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
seorang anak itu memperoleh bahasa?
2. Bagaimana
proses pemerolehan bahasa anak?
3. Apa
kelemahan dari anak dalam memperoleh bahasa?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Dan Teori Pemerolehan Bahasa Anak
a. Pengertian Pemerolehan Bahasa Anak
Pemerolehan
bahasa (language acquisition) atau akuisisi bahasa
menurut Maksan (1993:20) adalah suatu proses penguasaan bahasa yang dilakukan
oleh seseorang secara tidak sadar, implisit, dan informal. Lyons (1981:252)
menyatakan suatu bahasa yang digunakan tanpa kualifikasi untuk proses yang
menghasilkan pengetahuan bahasa pada penutur bahasa disebut pemerolehan bahasa.
Artinya, seorang penutur bahasa yang dipakainya tanpa terlebih dahulu
mempelajari bahasa tersebut.
Stork dan
Widdowson (1974:134) mengungkapkan bahwa pemerolehan bahasa dan akuisisi bahasa
adalah suatu proses anak-anak mencapai kelancaran dalam bahasa ibunya.
Kelancaran bahasa anak dapat diketahui dari perkembangan apa? Huda (1987:1)
menyatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah proses alami di dalam diri seseorang
menguasai bahasa. Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan hasil kontak verbal
dengan penutur asli lingkungan bahasa itu. Dengan demikian, istilah pemerolehan
bahasa mengacu ada penguasaan bahasa secara tidak disadari dan tidak terpegaruh
oleh pengajaran bahasa tentang sistem kaidah dalam bahasa yang dipelajari.
b. Pandangan Teori Pemerolehan Bahasa
Dari
beberapa pengertian di atas, dapatlah dinyatakan bahwa pembelajaran bahasa
adalah suatu proses secara sadar yang dilakukan oleh anak (pembelajar) untuk
menguasai bahasa yang dipelajarinya. Penguasaan bahasa tersebut biasanya
dilakukan melalui pengajaran yang formal dan dilakukan secara intensif.
Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan pemerolehan bahasa adalah suatu proses
penguasaan bahasa anak yang dilakukan secara alami yang diperoleh dari
lingkungannya dan bukan karena sengaja mempelajarinya dengan verbal.
Pemerolehan bahasa biasanya didapatkan dari hasil kontak verbal dengan penutur
asli di lingkungan bahasa itu.
1) Teori Pemerolehan Bahasa Behavioristik
Paling tidak
ada tiga pandangan yang berkaitan dengan teori pemerolehan bahasa. Ketiga
pandangan itu ialah teori behavioristik, teori mentalistik, dan teori
kognitiftik. Untuk lebih jelasnya ketiga teori tersebut dapat diuraikan satu
per satu berikut ini. Menurut pandangan kaum behavioristik atau kaum empirik
atau kaum antimentalistik, bahwa anak sejak lahir tidak membawa strutur
linguistik. Artinya, anak lahir tidak ada struktur linguistik yang dibawanya.
Anak yang lahir dianggap kosong dari bahasa.
Mereka
berpendapat bahwa anak yang lahir tidak membawa kapasitas atau potensi bahasa.
Brown dalam Pateda (1990:43) menyatakan bahwa anak lahir ke dunia ini seperti
kain putih tanpa catatan-catatan, lingkungannyalah yang akan membentuknya yang
perlahan-lahan dikondisikan oleh lingkungan dan pengukuhan terhadap tingkah
lakunya.
Pengetahuan
dan keterampilan berbahasa diperoleh melalui pengalaman dan proses belajar.
Pengalaman dan proses belajar yang akan membentuk akuisisi bahasanya. Dengan
demikian, bahasa dipandang sebagai sesuatu yang dipindahkan melalui pewarisan
kebudayaan, sama halnya seperti orang yang akan belajar mengendarai sepeda.
Menurut
Skinner (Suhartono, 2005:73) tingkah laku bahasa dapat dilakukan dengan cara
penguatan. Penguatan itu terjadi melalui dua proses yaitu stimulus dan respon.
Dengan demikian, yang paling penting di sini adalah adanya kegiatan
mengulangulang stimulus dalam bentuk respon. Oleh karena itu, teori stimulus
dan respon ini juga dinamakan teori behaviorisme.
Dikaitkan
dengan akuisisi bahasa, teori behavioris mendasarkan pada proses akuisisi
melalui perubahan tingkah laku yang teramati. Gagasan behavioristik terutama
didasarkan pada teori belajar yang pusat perhatian tertuju pada peranan
lingkungan, baik verbal maupun nonverbal. Teori belajar behavioris ini
menjelaskan bahwa perubahan tingkah laku dilakukan dengan menggunakan model
stimulus (S) dan respon (R) Dengan demikian, akuisisi bahasa dapat diterangkan
berdasarkan konsep SR. Setiap ujaran dan bagian ujaran yang dihasilkan anak
adalah reaksi atau respon terhadap stimulus yang ada. Apabila berkata, “Bu,
saya minta makan”, sebenarnya sebelum ada ujaran ini anak telah ada stimulus
berupa perut terasa kosong dan lapar. Keinginan makan, antara lain dapat
dipenuhi dengan makan nasi atau bubur. Bagi seorang anak yang beraksi terhadap
stimulus yang akan datang, ia mencoba menghasilkan sebagian ujaran berupa bunyi
yang kemudian memperoleh pengakuan dari orang yang di lingkungan anak itu.
Kaum
behavioris memusatkan perhatian pada pola tingkah laku berbahasa yang berdaya
guna untuk menghasilkan respon yang benar terhadap setiap stimulus. Apabila
respon terhadap stimulus telah disetujui kebenarannya, hal itu menjadi
kebiasaan. Misalnya seorang anak mengucapkan , "ma ma ma",dan tidak
ada anggota keluarga yang menolak kehadiran kata itu, maka tuturan "ma ma
ma", akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan itu akan diulangi lagi ketika anak
tadi melihat sesosok tubuh manusia yang akan disebut ibu yang akan dipanggil
"ma ma ma". Hal yang sama akan berlaku untuk setiap kata-kata lain
yang didengar anak.
Teori
akuisisi bahasa berdasarkan konsep behavioris menjelaskan bahwa anak-anak
mengakuisisi bahasa melalui hubungan dengan lingkungan, dalam hal ini dengan
cara meniru. Dalam hubungan dengan peniruan ini Pateda (1990:45) menyatakan
bahwa faktor yang penting dalam peniruan adalah frekuensi berulangnya satu kata
dan urutan kata. ujaran-ujaran itu akan mendapat pengukuhan, sehingga anak akan
lebih berani menghasilkan kata dan urutan kata. Seandainya kata dan urutan kata
itu salah, maka lingkungan tidak akan memberikan pengukuhan. dengan cara ini,
lingkungan akan mendorong anak menghasilkan tuturan yang gramatikal dan tidak
memberi pengukuhan terhadap tuturan yang tidak gramatikal.
2) Teori Pemerolehan Bahasa Mentalistik
Menurut
pandangan kaum mentalis atau rasionalis atau nativis, proses akuisisi bahasa
bukan karena hasil proses belajar, tetapi karena sejak lahir ia telah memiliki
sejumlah kapasitas atau potensi bahasa yang akan berkembang sesuai dengan
proses kematangan intelektualnya.
Hal ini
sesuai dengan pendapat Chomsky (1959) bahwa anak yang lahir ke dunia ini telah
membawa kapasitas atau potensi. Potensi bahasa ini akan turut menentukan
struktur bahasa yang akan digunakan. Pandangan ini yang akan kelask disebut
hipotesis rasionalis atau hipotesis ide-ide bawaan yang akan dipertentangkan
dengan hipotesis empiris yang berpendapat bahwa bahasa diperoleh melalui proses
belajar atau pengalaman.
Seperti
telah dikatakan di atas bahwa anak memiliki kapasitas atau potensi bahasa maka
potensi bahasa ini akan berkembang apabila saatnya tiba. Pandangan ini biasanya
disebut pandangan nativis (Brown, 1980:20). Kaum mentalis beranggapan bahwa
setiap anak yang lahir telah memiliki apa yang disebut LAD (Language
Acquisition Device). Kelengkapan bahas ini berisi sejumlah hipotesis bawaan.
Hipotesis bawaan menurut para ahli berpendapat bahasa adalah satu pola tingkah
laku spesifik dan bentuk tertentu dari persepsi kecakapan mengategorikan dan
mekanisme hubungan bahasa, secara biologis telah ditemukan (Comsky, 1959).
Mc Neill (Brown, 1980:22) menyatakan bahwa LAD itu
terdiri atas:
a) kecakapan untuk membedakan bunyi bahasa dengan
bunyi-bunyi yang lain.
b) kecakapan
mengorganisasi satuan linguistik ke dalam sejumlah kelas yang akan berkembang
kemudian;
c)
pengetahuan tenteng sistem bahasa yang mungkin dan yang tidak mungkin, dan
kecapan menggunakan sistem bahasa yang didasarkan pada penilaian perkembangan
sistem linguistik, Dengan demikian, dapat melahirkan sistem yang dirasakan
mungkin diluar data linguistik yang ditemukan.
Pandangan
kaum mentalis yang perlu diperhatikan adalah penemuan mereka tentang sistem
bekerjanya bahasa anak. Chomsky dan kawan-kawan berpendapat bahwa perkembangan
bahasa anak bukanlah perubahan rangkaian proses yang berlangsung sedikit semi
sedikit pada struktur bahasa yang tidak benar, dan juga standia lanjut. Akan
tetapi standia yang bersistem yang berbentuk kelengkapan-kelengkapan bawaan
ditambah dengan pengalaman anak ketika ia melaksanakan sosialisasi diri.
Kelengkapan bawaan ini kemudian diperluas, dikembangkan, dan bahkan diubah.
Dalam
hubungan anak membawa sejumlah kapasitas dan potensi, kaum mentalis memberikan
alasan-alasan sebagai berikut:. Semua manusia belajar bahasa tertentu; semua
bahasa manusia sama-sama dapat dipelajari oleh manusia; semua bahasa manusia
bebeda dalam aspek lahirnya, tetapi semua bahasa mempunyai ciri pembeda yang
umum, ciri-ciri pembeda ini yang terdapat pada semua bahasa merupakan kunci
terhadap pengertian potensi bawaan bahasa tersebut. Argumen ini mengarahkan
kita kepada pengambilan kesimpulan bahwa potensi bawaan bukan saja potensi
untuk dapat mempelajari bahasa, tetapi hal itu merupakan potensi genetik yang
akan menentukan struktur bahasa yang akan dipelajarinya.
3) Teori Akuisisi Bahasa Kognitif
Dalam
psikolingustik, teori kognitif ini yang memandang bahasa lebih mendalam lagi.
Para penganut teori ini, berpendapat bahwa kaidah generatif yang dikemukakan
oleh kaum mentalis sangat abstrak, formal, dan eksplisit serta sangat logis.
Meskipun demikian,
mereka mengemukakan secara spesifik dan terbatas pada bentuk-bentuk bahasa.
Mereka belum membahas hal-hal menyangkut dalam lapisan bahasa, yakni ingatan,
persepsi, pikiran, makna, dan emosi yang saling berpengaruh dalam struktur jiwa
manusia. Para ahli bahasa mulai melihat bahwa bahasa adalah manifestasi dari
perkembangan umum yang merupakan aspek kognitif dan aspek afektif yang
menyatakan tentang dunia diri manusia itu sendiri.
Teori
kognitif menekankan hasil kerja mental, hasil kerja yang nonbehavioris.
Proses-proses mental dibayangkan sebagai yang secara kualitatif berbeda dari
tingkah laku yang dapat diobservasi. Titik awal teori kognitif adalah anggapan
terhadap kapasitas kognitif anak dalam menemukan struktur di dalam bahasa yang
ia dengar di sekelilingnya. Baik pemahaman maupun produksi serta komprehensi,
bahasa pada anak dipandang sebagai hasil proses kognitif yang secara
terus-menerus berkembang dan berubah. Jadi, stimulus merupakan masukan bagi
anak yang kemudian berproses dalam otak. Pada otak ini terjadi mekanisme
internal yang diatur oleh pengatur kognitif yang kemudian keluar sebagai hasil
pengolahan kognitif tadi.
Teori
kognitif telah membawa satu persoalan dalam pemberian organisasi kognitif
bahasa anak. Persoalan itu, yakni belum ada model yang terperinci yang
memeriksa organisasi kognitif bahasa anak itu. Untunglah Slobin telah
menformulasikan sejumla prinsip operasi yang telah menarik perhatian para ahli,
Clark dan Clark (Hamied,1987:22-23) telah menyusun kembali dan memformulasikan prinsip
operasi Slobin tersebut.
Prinsip
koherensi semantik ada tiga aspek yaitu mencari modifikasi sistematik dalam
bentuk kata; mencari penanda gramatis yang dengan jelas menunjukkan perbedaan
yang mendasari dan menghindari kekecualian.
Prinsip
Struktur lahir meliputi: memperhatikan ujung kata; memperhatikan urutan kata,
awalan, dan akhiran; dan menghindari penyelaan atau pengaturan kembali
satu-satuan linguistik.
Tiga Prinsip
koherensi semantik behubungan dengan peletakan gagasan terhadap bahas, sedangkan
tiga prinsip struktur lahir berkenaan dengan masalah segmentasi yaitu bagaimana
membagi alur ujaran yang terus-menerus menjadi satuan-satuan linguistik yang
terpisah dan bermakna.
Penganut
teori kognitif beranggapan bahwa ada prinsip yang mendasari organisasi
linguistik yang digunakan oleh anak untuk menafsirkan serta mengoperasikan
lingkungan linguistiknya. Semua ini adalah hasil pekerjaan mental yang meskipun
tidak dapat diamati, jelas mempunyai dasar fisik. Proses mental secara
kualitatif berbeda dari tingkah laku yang dapat diamati, dan karena berbeda
dengan pandangan behavior (Pateda, 1990)
2.2 Tahap Pemerolehan Bahasa Anak
Berbagai penelitian membuktikan
bahwa manusia normal mengalami tahapan yang hampir sama dalam pemerolehan
bahasa pertamanya. Dalam hal ini, peneliti mengambil teori dari tiga orang ahli
yaitu Aitchison, Schaerlaekens, dan Ruqayyah.
A.
Perkembangan Bahasa Menurut Aitchison
Menurut Aitchison dalam Harras dan Andika
(2009: 50-56), tahap kemampuan bahasa anak terdiri atas hal-hal berikut.
Tahap
Perkembangan Bahasa
|
Usia
|
Menangis
|
Lahir
|
Mendekur
|
6
minggu
|
Meraban
|
6
bulan
|
Pola
intonasi
|
8
bulan
|
Tuturan
satu kata
|
1
tahun
|
Tuturan
dua kata
|
18
bulan
|
Infleksi
kata
|
2
tahun
|
Kalimat
tanya dan ingkar
|
2
¼ tahun
|
Konstruksi
yang jarang dan kompleks
|
5
tahun
|
Tuturan
yang matang
|
10
tahun
|
1)
Menangis
Menangis pada bayi ternyata
memiliki beberapa tipe makna. Ada tangisan untuk minta minum, minta makan,
kesakitan, dan sebagainya. Tangisan merupakan komunikasi yang bersifat
instingtif seperti halnya sistem panggil pada binatang. Hasil penelitian
membuktikan bahwa makna tangisan itu bersifat universal.
2) Mendekur
Fase yang mirip dekuran merpati ini
dimulai saat anak berusia sekitar enam tahun. Mendekur sebenarnya sulit
dideskripsikan. Bunyi yang dihasilkannya mirip dengan bunyi vokal, tetapi hasil
penelitian menggunakan spektogram menunjukkan bahwa hasil bunyi itu tidak sama
dengan bunyi vokal yang dihasilkan orang dewasa. Beberapa buku menyebut fase
ini sebagai gurgling atau mewling. Mendekur pun bersifat
universal.
3) Meraban
Secara bertahap, bunyi konsonan
akan muncul pada waktu anak mendekur, dan ketika usia anak mendekati enam
bulan, ia memasuki fase meraban. Secara impresif anak menghasilkan vokal dan konsonan
secara serentak. Awalnya, ia mengucapkan sebagai suku kata, tetapi akhirnya
vokal dan konsonan itu menyatu.
Pada fase meraban, anak menikmati
eksperimennya dengan mulut dan lidahnya, sehingga fase ini merupakan fase
pelatihan bagi alat ucap. Bunyi yang biasanya dikeluarkan berupa mama,
papapa, dan dadada.
4) Pola
Intonasi
Anak-anak mulai menirukan pola-pola
intonasi sejak usia delapan atau sembilan bulan. Hasil tuturan anak mirip
dengan tuturan ibunya. Anak tampaknya menirukan tuturan orang tuanya tetapi
hasilnya tidak dipahami oleh orang sekelilingnya. Ibu-ibu sering
mengidentifikasikan bahwa anaknya menggunakan intonasi tanya dengan nada tinggi
pada akhir kalimatnya, sehingga orang tua sering melatih anaknya berbicara
dengan bertanya "Kamu mau apa?" dan sebagainya.
5) Tuturan satu kata
Sekitar umur dua belas sampai
delapan belas bulan anak mulai mengucapkan tuturan satu kata. Jumlah kata yang
diperoleh anak bervariasi. Lazimnya, rata-rata anak memperoleh sekitar lima
belas kata. Kata-kata yang biasanya dituturkan misalnya papa, mama, bobo,
meong, dan sebagainya.
6) Tuturan
dua kata
Ciri yang paling menonjol dalam
fase ini ialah kenaikan kosakata anak yang muncul secara drastis. Ketika
usianya menginjak dua setengah tahun, kosakatanya mencapai hampir ratusan kata.
Pada awal tahap dua kata ini
tuturan anak cenderung disebut telegrafis. Ia berbicara seperti orang mengirim
telegram, yakni hanya kata-kata penting saja yang disampaikan. Tuturan yang
awalnya Ani susu berubah menjadi Ani mau minum susu.
7) Infleksi
kata
Kata-kata yang awalnya dianggap
remeh oleh anak akhirnya dimunculkan juga. Dalam bahasa Indonesia, kata yang
biasanya muncul ialah afiks, misalnya anak sebelumnya hanya mengatakan Kakak
mukul adik menjadi Kakak memukul adik atau Adik dipukul kakak.
Dalam tahap ini pun anak mulai memperoleh kata majemuk, seperti orang tua, namun
pemerolehan tersebut tidaklah signifikan karena kemampuan setiap anak
bervariasi.
8) Kalimat
tanya dan ingkar
Dalam bahasa Indonesia, anak mulai
memperoleh kalimat tanya seperti apa, siapa, dan kapan pada
kalimat seperti Apa ini?, Siapa orang itu?, dan Kapan ayah pulang?,
sedangkan kalimat ingkar biasanya berupa kalimat-kalimat seperti Kakak tidak
nakal, Saya tidak mau makan, Kue ini tidak enak, dan Ini bukan punya
adik.
9) Konstruksi yang jarang
atau kompleks
Pada usia lima tahun, anak secara
mengesankan memperoleh bahasa yang terus berlanjut meskipun agak lamban.
Tuturan anak usia lima tahun berbeda dengan tuturan atau tata bahasa orang
dewasa, tetapi mereka tidak menyadari kekurangan mereka itu. Mereka selalu
menganggap bahwa tuturannya sama dengan orang dewasa dan akan selalu
menyamakannya. Dalam tes pemahaman, anak-anak siap untuk mengerjakan dan
menafsirkan struktur yang diberikan kepadanya, tetapi sering mereka
menafsirkannya secara keliru. Hal tersebut tampak dalam kalimat majemuk setara
atau kalimat majemuk bertingkat yang biasanya mereka tuturkan seperti Ali
dan kakaknya pergi ke sekolah meskipun hujan. Tahap inilah yang dianggap
tahap rumit dalam fase perkembangan bahasa anak.
10) Tuturan
matang
Perbedaan
tuturan anak-anak dengan orang dewasa secara perlahan akan berkurang ketika
usia anak semakin bertambah. Ketika usianya mencapai sebelas tahun, anak mampu
menghasilkan kalimat perintah yang sama dengan kalimat perintah orang dewasa,
misalnya Tolong ambilkan buku itu!.
Ketika meningkat usia pubertas,
perkembangan bahasa anak dikatakan sudah lengkap. Tentu saja ia akan terus
mengembangkan perbendaharaan kosakatanya, dan kaidah tata bahasanya pun akan
berubah.
Menurut Yulianti (2002), semua
tahap ini pasti dilalui setiap anak normal, sedangkan anak yang memiliki
gangguan fisik hanya melewati beberapa tahap perkembangan bahasa saja. Hal itu
menunjukkan bahwa kematangan berbahasa dipengaruhi pula oleh kematangan fisik.
B.
Perkembangan Bahasa Menurut Schaerlaekens
Tahapan perkembangan bahasa yang dialami anak
menurut Schaerlaekens dalam Mar’at (2005: 61) terdiri atas beberapa hal sebagai
berikut.
1) Periode
pralingual
Umumnya tahap ini dialami anak pada
usia 0-1 tahun, ketika anak hanya mengeluarkan bunyi-bunyi yang merupakan reaksi
terhadap situasi tertentu dengan tahapan sebagai berikut.
a. Tahap
mendekut (cooing). Anak mengeluarkan bunyi yang mirip vokal
atau konsonan (/a/).
b. Tahap
berceloteh (babbling). Anak mengeluarkan gabungan mirip vokal dan
konsonan (/p/, /b/, /m/).
2) Periode
lingual
Tahap ini umumnya dialami anak pada
usia 1-2,5 tahun, ketika anak mulai mengucapkan kata-kata dengan tahapan
sebagai berikut.
a. Tahap
ujaran holofrastik. Anak mampu memproduksi satu kata yang dapat menyatakan
lebih dari satu maksud.
b. Tahap
ujaran telegrafik. Anak mampu memproduksi dua kata sebagai pernyataan suatu
maksud.
c. Tahap
lebih dari dua kata. Anak mulai memproduksi lebih dari dua kata dan menunjukkan
perkembangan morfologis. Komunikasinya pun tidak lagi bersifat egosentris.
3) Periode diferensiasi
Umumnya dialami anak pada usia
2,5-5 tahun, ketika anak dianggap telah menguasai bahasa ibu dengan penguasaan
tata bahasa pokok. Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi mulai berjalan baik.
Anak juga mulai mampu mengomunikasikan persepsi dan pengalamannya kepada orang
lain. Perkembangan aspek fonologi telah berakhir walaupun masih ada kesukaran
tertentu. Aspek kosakata berkembang baik secara kualitatif dan kuantitatif.
Anak juga telah mampu membedakan nomina dan verba serta menggunakan pronomina dan
preposisi.
C.
Perkembangan Bahasa Menurut Ruqayyah
Menurut Ruqayyah (2008) dalam
http://massofa.wordpress.com/2008/11/
19/pemerolehan-bahasa-anak-usia-4-6-tahun/html, perkembangan pemerolehan bahasa
anak dapat dibagi atas tiga bagian penting yaitu sebagai berikut.
1) Perkembangan
prasekolah
Perkembangan pemerolehan bahasa
anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik,
yaitu anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan
subjek, dirinya dengan orang lain, serta hubungan dengan objek dan tindakan.
Selain itu ada pula tahap satu
kata, yaitu anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang
yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperoleh lazimnya adalah kata yang
menyatakan perbuatan, sosialisasi, dan tempat. Tiga sarana ekspresif yang
dipakai oleh anak-anak yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih
panjang, yaitu kemunculan morfem-morfem gramatikal secara inklusif dalam ujaran
anak, pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut, dan
perluasan istilah dalam suatu hubungan atau relasi.
Perkembangan pemerolehan bunyi
anak-anak berawal dari membuat bunyi menuju arah membuat pengertian. Anak
biasanya membuat pembedaan bunyi perseptual yang penting selama periode ini,
misalnya membedakan antara bunyi suara manusia dan bukan manusia, bunyi
ekspresi marah dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan
orang dewasa, dan antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali makna-makna
berdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yang didengarnya.
Anak-anak menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri dari waktu ke waktu
menuju ucapan orang dewasa, dan apabila anak-anak mulai menghasilkan segmen
bunyi tertentu, hal ini menjadi perbendaharaan mereka.
Menurut Nuraeni (2009: 5), panjang
ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang
lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat
digunakan sebagai ukuran panjangnya.
2) Perkembangan
ujaran kombinatori
Perkembangan ujaran kombinatori
anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu perkembangan negatif,
interogatif, penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi. Perkembangan
beberapa proposisi menjadi sebuah kalimat tunggal memerlukan rentang masa
selama beberapa tahun dalam perkembangan bahasa anak-anak.
3) Perkembangan
masa sekolah
Pada perkembangan masa sekolah,
orientasi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak yang lebih impulsif dari
pada anak yang lain, lebih refleksif dan berhati-hati, cenderung lebih jelas
dan nyata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan bermain-main,
sementara yang lain lebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Setiap bahasa anak
akan mencerminkan kepribadiannya sendiri pada masa ini.
Selama
masa sekolah, anak mengembangkan dan memakai bahasa secara unik dan universal.
Pada saat itu anak menandai atau memberinya ciri sebagai pribadi yang ada dalam
masyarakat itu. Perkembangan bahasa pada masa sekolah dapat dibedakan dengan
jelas dalam tiga bidang, yaitu struktur bahasa, pemakaian bahasa dan kesadaran meta linguistik.
STRATEGI
PEMEROLEHAN BAHASA ANAK
Pada kegiatan belajar 1 kita telah mempelajari perkembangan pemerolehan bahasa lisan anak sejak bayi sampai usia pra-sekolah. Pada kegiatan belajar 2 ini, kita akan membahas faktor-faktor yang mempengaruhi pemerolehan bahasa anak serta cara yang mereka tempuh dalam mempelajari bahasa pertamanya, khususnya ragam bahasa lisan.
A. Faktor-Faktor Yang Memepngaruhi Pemerolehan Bahasa Anak
Sungguh menakjubkan hanya dalam waktu
sekitar 4 tahun anak-anak telah menguasai sistem B1-Nya. Penguasaan sistem
bahasa itu telah memungkinkan mereka mampu memahami dan menciptakan tuturan
atau kalimat-kalimat yang belum pernah diperdengarkan dan diucapkan sebelumnya.
Sebagai orang tua, mungkin anda pernah bertanya-tanya mengapa anak-anak itu
belajar
dan menguasai B1-Nya
begitu cepat.
Untuk itu, sebelum melanjutkan membaca,
cobalah anda kerjakan pertanyaan berikut ini terlebih dahulu. Apabila anda
dapat menjawab 80% dengan benar maka anda sebenarnya telah memiliki pengetahuan
materi kegiatan belajar ini dengan baik. Silakan kerjakan selama 10 menit!
Tatkala kita mengamati perkembangan
bahasa anak yang begitu pesat dan menakjubkan muncul pertanyaan di benak kita.
Bagaimana anak bisa memperoleh kemamppuan berbahasa seperti itu? Apakah memang
pembawaan anak dari sananya atau ada unsur-unsur lain yang memungkinkannya
memiliki kemahiran berbahasa seperti itu?” Ada 2 persyaratan dasar yang
memungkinkan anak dapat memperoleh kemampuan berbahasa, yaitu potensi faktor
biologis yang dimilikinya, serta dukungan sosial yang diperolehnya. Selain itu
terdapat faktor-faktor penunjang yang merupakan penjabaran dari kedua hal
diatas, yang dapat mempengaruhi tingkat kemampuan bahasa yang diperoleh anak.
1. Faktor Biologis
Setiap anak yang lahir telah dilengkapi
dengan kemamuan kodrati atau alami yang memungkinkannya menguasai bahasa.
Potensi alami itu bekerja secara otomatis. Chomsky (1975 dalam Santrock, 1994)
menyebut potensi yang terkandung dalam perangkat biologis anak dengan istilah
Piranti pemerolehan bahasa (Language Acquisition Devives). Dengan piranti itu,
anak dapat menercap sistem suastu bahasa yang terdiri atas subsitem fonologis,
tata bahasa, kosakata, dan pragmatik, serta menggunakannya dalam berbahasa.
Perangkat biologis yang menentukan anak dapat memperoleh kemampuan bahasanya ada 3, yaitu otak (sistem syaraf pusat), alat dengar, dan alat ucap.
Perangkat biologis yang menentukan anak dapat memperoleh kemampuan bahasanya ada 3, yaitu otak (sistem syaraf pusat), alat dengar, dan alat ucap.
Dalam proses berbahasa, seseorang
dikendalikan oleh sistem syaraf pusat yang ada di otaknya. Pada belahan otak
sebelah kiri dikendalikan oleh sistem syaraf pusat yang ada di mengontrol
produksi atau penghasilan bahasa, seperti berbicara dan menulis. Pada belahan
otak sebelah kanan terdapat wilayah wernicke yang mempengaruhi dan bagian otak
itu terdapat wilayah motor suplementer. Bagian ini berfungsi untuk mengendalikan
unsur fisik penghasil ujaran.
Berdasarkan tugas tenaga bagian otak itu,
alur penerimaan dan penghasilan bahasa dapat disederhanakan seperti berikut.
Bahasa didengarkan dan dipahami melalui daerah Wernicke. Isyarat bahasa itu
kemudian dialihkan ke daerah Broca untuk mempersiapkan penghasilan balasan.
Selanjutnya isyarat tanggapan bahasa itu dikirimkan ke daerah motor, seperti
alat ucap, untuk menghasilkan bahasa secara fisik.
2. Faktor Lingkungan Sosial
Untuk memperoleh kemampuan berbahasa,
seorang anak memerlukan orang lain untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Anak
yang secara sengaja dicegah untuk mendegarkan sesuatu atau menggunakan
bahasanya untuk berkomunikasi, tidak akan memiliki kemampuan berbahasa. Mengapa
demikian? Bahasa yang diperoleh anak tidak diwariskan secara genetis atau
keturunan, tetapi didapat dalam lingkungan yang menggunakan bahasa. Atas dasar
itu maka anak memerlukan orang lain untuk mengirimkan dan menerima tanda-tanda
suara dalam bahasa itu secara fisik. Anak memerlukan contoh atau model
berbhasa, respon atau tanggapan, secara temah untuk berlatih dan beruji coba
dalam belajar bahasa dalam konteks yang sesungguhnya.
Dengan demikian, lingkungan sosial tempat
anak tinggal dan tumbuh, seperti keluarga dan masyarakat merupakan salah satu
faktor utama yang menentukan pemerolehan bahasa anak. Lalu, bagaimana kaitan
lingkungan sosial dengan perangkat biologis yang telah dimiliki anak lahir?
Apakah kalau unsur biologis anak normal masih tetap memerlukan lingkungan
sosial untuk mendapatkan kemampuan berbahasanya?
Kaitan keduanya sangat erat, tak
terpisahkan. Kehilangan salah satu dari keduanya akan mengakibatkan anak tidak
mampu berbahasa. Jika disederhanakan piranti biologis adalah wadah atau alat
maka lingkungan berperan memberi isi atau muatan. Apabila digambarkan maka
bentuknya seperti berikut.
Banyak bukti menunjukkan bahwa otak alat dengar dan alat ucap,
memiliki peran dasar sangat penting. Gangguan pada salah satu dari ketiganya
akan sangat menghambat bahasa anak. Lennerberg (1975 dalam Cahyono, 1995)
membuktikannya melalui penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak tunarungu,
lemah mental, dan tnawicara.
Dari kajiannya mengenai anak-anak
tunarungu, Lennerberg menemukan fakta berikut. Tiga belum setelah dilahirkan
anak-anak tunarungu dapat menghasilkan bunyi-bunyi yang sama seperti anak
normal. Dari bulan keempat hingga bulan kedua belas, hanya sebagian bunyi yang
mereka hasilkan sama dengan anak normal. Setelah itu, bunyi-bunyi yang mereka
hasilkan lebih terbatas dari pada bunyi-bunyi yang diproduksi anak yang
berpendengaran normal.
Hasil pengajaran terhadap anak-anak
tunarungu menunjukkan bahwa peluang mereka untuk belajar menggunakan suara dan
alat ucapnya sangat kecil. Ketika mereka berusaha berbicara, kualitas suara
mereka berubaha dengan tekanan yang kurang biak serta pula informasi yang tak
terkendali.
Anak-anak lemah mental cenderung
mengartikulasikan tuturannya secara lemah dengan gramatika yang banyak
mengandung kesalham. Kesalahan itu kadang-kadang pembicarannya bahwa mereka
kurang memahami apa yang disampaikannya dan topik pembicarannya kabur, kurang
terarah.
Berdasarkan kajian Lennerberg, anak-anak
tunarungu tidak dapat berceloteh dan menirukan kata. Mereka tidak dapat
memiliki kemampuan mengartikulasikan atau membunyikan tuturannya secara normal.
Hal ini disebabkan adanya gangguan alat ucap mereka. Meskipun demikian, mereka
dapat memahami tuturan dengan relatif baik.
Demikianlah uraian mengenai peranan unsur
biologis yang akibatnya lebih rendah terjadinya pemerolehan bahasa anak.
Hambatan biologis yang akibatnya lebih rendah dalam pemilikan bahasa dapat anda
amati pada anak-anak gagap, cadel, atau sengau.
Konsep lingkungan sosial di sini mengacu
kepada berbagai perilaku berbahasa setiap individu, seperti orang tua, saudara,
anggota masyarakat sekitar, dalam mendukung perkembangan bahasa anak. Dukungan
dan keterlibatan sosial ini diperlukan anak. Inilah yang disebut Bruner (1983
dalam Santrock, 1994) sebagai sistem pendukung pemerolehan bahasa (langsung
acquisition supprot system).
Kita semua tahu bawah pemakai bahasa yang
baik itu harus memiliki dua hal. Pertama dia harus menguasai sistem atau aturan
bahasa yang digunakannya. Kedua, dia juga harus memehami dan menguasai aturan
sosial penggunaan bahsa itu. Kita akan menyebut kurang ajar apbila seorang anak
berbahasa dengan gurunya menggunakan ragam dan cara bahasa seperti dengan kawa
sebayanya. Nah, apabila piranti biologis memungkinkan anak memahami sistem
bahasanya maka lingkungan sosial memberikan kesempatan baginya untuk
berinteraksi dengan bahasa yang dimilikinya sehingga bahasanya berfungsi secara
wajar.
Selanjutnya bagaimakanah lingkungan sosial itu memberikan dukungan kepada anak dalam belajar bahasa? Banyak cara! Di antaranya adalah berikut ini.
Selanjutnya bagaimakanah lingkungan sosial itu memberikan dukungan kepada anak dalam belajar bahasa? Banyak cara! Di antaranya adalah berikut ini.
a. Bahasa semang
(motheresse)
yaitu penyederhanaan bahasa oleh orang tua atau orang dewasa lainnya ketika
berbicara dengan bayi anak kecil. Misalnya, “Napa chayang? Mau mimi, iya?
Bentar, ya!”
b. Parafrase, yaitu pengungkapan kembali ujaran yang
diucapkan anak dengan cara yang berbeda. Misalnya kalimat pernyataan menjadi
kalimat pertanyaan. Efek parafase ini sangat menolong anak belajar bahasa. Oleh
karena itu, orang dewasa sebaiknya membiarkan anak menunjukkan minat serta
mengungkapkannya dalam bentuk komentar, demontrasi dan menjelaskan. Menurut
Rice (Santrock, 1994), pendekatan direktif atau langsung sewaktu berkomunikasi
dengan anak akan mengganggunya. Misalnya:
Anak : “Mammam!”
Ibu : “Oh, maem, chayang?” (Oh maka, sayang?)
c. Menegaskan kembali
(echoing) yaitu mengulang apa
yang dikatakan anak, terutama apabila tuturannya tidak lengkap atau tidak
sesuai dengan maksud. Misalnya:
Anak : “Mah itu!” sambil menunjuk. Mukanya seperti ketakutan.
Ibu : “Oh, cecak, Rani takut cecak? Nggak apa-apa. Cecak baik, kok!”
Anak : “Iya!”
Ibu : “Oh, cecak, Rani takut cecak? Nggak apa-apa. Cecak baik, kok!”
Anak : “Iya!”
d. Memperluas
(expanding)
yaitu mengungkapkan kembali apa yang dikatakan anak dalam bentuk kebahasaan
yang lebih kompleks.
e. Menamai (labeling), yaitu mengindentifikasi nama-nama benda.
Bisa dalam bentuk benda sebenarnya atau benda tiruan (realia), gambar,
permainan kata, dan sebagainya.
f. Penguatan
(reinforcement)
yaitu menanggapi atau memberi respon positif atas perilaku bahasa anak.
Misalnya, dengan memuji, memberi acungan jempol, dan tepuk tangan.
g. Pemodelan
(modelling),
yaitu contoh berbhasa yang dilakukan orang tua atau orang dewasa (Santrock,
1994; Benson, 1998).
Semakin kuat rangsangan dan dukungan
sosial terhadap bahasa anak, akan semakin kaya pula masukan dan kemampuan
berbahasanya. Sebaliknya, apabila dukungan sosial itu kurang atau negatif maka
masukan bahasa anak pun akan sedikit. Dengan demikian, tingkat masukan bahasa
yang diperoleh anak akan mempengaruhi tingkat perkembangan bahasanya.
Begitu pentingnya peranan unsur atau lingkungan sosial terhadap pemerolehan bahasa anak. Seandainya saja seorang anak normal diasingkan dan tumbuh di lingkungan hutan, di antara hewan-hewan hutan, niscaya bahasa hewanlah yang akan dikuasainya. Anda setuju dengan pendapat itu?
Begitu pentingnya peranan unsur atau lingkungan sosial terhadap pemerolehan bahasa anak. Seandainya saja seorang anak normal diasingkan dan tumbuh di lingkungan hutan, di antara hewan-hewan hutan, niscaya bahasa hewanlah yang akan dikuasainya. Anda setuju dengan pendapat itu?
Selain faktor biologis dan sosial, ada unsur lain yang
mempengaruhi pemerolehan bahasa anak-anak. Kedua faktor itu adalah intelegensi
dan motivasi.
3. Faktor Intelegensi
Intelengesi adalah daya atau kemampuan anak dalam berpikir atau
bernalar. Zanden (1980) mendefinisikannya sebagai kemampuan seseorang dalam memecahkan
masalah. Intelengesiini bersifat abstrak dan tak dapat diamati secara langsung.
Pemahaman kita tentan tingkat intelengensi seseorang hanya dapat disimpulkan melalui
perilakunya.
Kemudian, bagaimana pengaruh faktor untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar anak? Sebenarnya, penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar tinggi lebih tinggi akan lebih sukses dari pada anak yang berdaya nalar pas-pasan kecuali, tentu saja anak-anak yang sangat rendah intelegensinya seperti yang telah dijelaskan pada faktor bilogis, dapat belajar dan memperoleh bahasa dengan sukses. Perbedaannya terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas. Anak yang berintelengensi tinggi, tingkat pencapaian bahasanya cenderung lebih cepat, lebih banyak dan lebh bevariasi bahasanya dari pada anak-anak yang bernalar sedang atau rendah.
Kemudian, bagaimana pengaruh faktor untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar anak? Sebenarnya, penulis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa anak yang bernalar tinggi lebih tinggi akan lebih sukses dari pada anak yang berdaya nalar pas-pasan kecuali, tentu saja anak-anak yang sangat rendah intelegensinya seperti yang telah dijelaskan pada faktor bilogis, dapat belajar dan memperoleh bahasa dengan sukses. Perbedaannya terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas. Anak yang berintelengensi tinggi, tingkat pencapaian bahasanya cenderung lebih cepat, lebih banyak dan lebh bevariasi bahasanya dari pada anak-anak yang bernalar sedang atau rendah.
4. Faktor Motivasi
Benson (1988) menyatakan bahwa kekuatan motivasi dapat
menjelaskan “Mengapa seorang anak yang normal sukses mempelajari bahasa
ibunya”. Sumber motivasi itu ada 2 yaitu dari dalam dan luar diri anak.
Dalam belajar bahasa seorang anak tidak terdorong demi bahasa
sendiri. Dia belajar bahasa karena kebutuhan dasar yang bersifat, seperti
lapar, haus, serta perlu perhatian dan kasih sayang (Goodman, 1986; Tompkins
dan Hoskisson. 1995). Inilah yang disebut motivasi intrinsik yang berasal dari
dalam diri anak sendiri. Untuk itulah mereka memerlukan kemunikasi dengan
sekitarnya. Kebutuhan komunikasi ini ditunjukkan agar dia dapat dipahami dan
memahami guna mewujudkan kepentingan dirinya.
Dalam perkembangan selanjutnya si anak merasakan bahwa
komunikasi bahasa yang dilakukannya membuat orang lain senang dan gembira
sehingg dia pin kerap menerima pujian dan respon baik dari mitra bicaranya.
Kondisi ini memacu anak untuk belajar dan menguasai bahasanya lebih baik lagi.
Nak karena dorongan belajar anak itu berasal dari luar dirinya maka motivasinya
disebut motivasi ekstrinsik.
B. STRATEGI PEMEROLEHAN
BAHASA ANAK
Berbeda dengan orang dewasa, anak kecil
cenderung lebih cepat belajar dan menguasai suatu bahsa. Dalam lingkungan
masyarakat bahasa apa pun mereka hidup anak-anak hanya memerlukan waktu relatif
sebentar untuk menguasai sistem bahasa itu. Apalagi kalau mereka berada dalam
lingkungan bahasa ibunya (B1).
Sebenarnya strategi apa yang ditempuh
anak-anak dalam belajar bahasa sehingga dengan cepat mereka dapat menguasai
itu. Padahal mereka tidak sengaja belajar atau diajari secara khusus. Ternyata,
untuk memperoleh kemampuan bahasa lisannya mereka melakukannya dengan berbagai
cara seperti di bawah ini.
1. Mengingat
Mengapa memainkan peranan penting dalam
belajar bahasa anak atau belajar apa pun. Setiap pengalaman indrawi yang dilalui
anak, direkam dalam benaknya. Ketika dia menyentuh, mencerap, mencium, melihat,
dan mendengar sesuatu, memori anak menyimpangnya. Pancaindra itu sangat penting
bagi anak dalam membangun pengetahuan tentang dunianya.
Pada setiap awal belajar bahasa, anak
mulai membangun pengetahuan tentang kombinasi bunyi-bunuyi tertentu yang
menyertai dan merujuk pada sesusatu yang dia alami. Ingatan itu akan semakin
kuat, terutama apabila penyebutan akan benda atau peristiwa tertentu terjadi
berulang-ulang. Dengan cara ini, anak-anak mengingat kata-kata tentang sesusatu
sekaligus berulang-ulang pula cara mengucapnya.
Hanya saja, khasanah bahasa yang diingat
anak ketika diucapkan tidak salah tepat. Mungkin lafalnya kurang pas atau hanya
suku kata awal atau akhirnya saja. Hal ini terjadi karena pertumbuhan otak dan
alat ucap anak masih sedsang berkembang. Dia menyimpan kata yang dia dengar,
yang dia diperlukan dalam memorinya. Dia pun mencoba mengatakannya. Namun
tingkat perkembangannya yang belum memungkinkan dia melafalkan tuturan
sesempurna orang dewasa. Oleh kareana itu, dalam berbahasa biasanya anak
dibantu oleh ekspresi, gerak tangan atau menunjuk benda-benda tertentu. Inilah
versi bahasa anak.
Mengingat kondisi itu, dalam
berkomunikasi dengan anak biasanya orang tua atau orang dewasa menyederhanakan
bahasanya. Penyerderhanaan itu diwujudkan dalam tuturan yang pelan, ekspresif,
dan modifikasi kata yang mudah diingat dan diucapkan anak, seperti kata “pus”
untuk kucing, “mimi” untuk minum, “mamam” atau “Ma’em” untuk makan, “bobo”
tidur, dan “pipis” untuk kencing.
2. Meniru
Strategi penting lainnya yang dilakukan anak dalam belajar
bahasa adalah peneriuan. Perwujudan strategi ini sebenarnya tak dapat
dipisahkan dasri strategi mengingat. Kemudian apakah peniruan yang dilakukan
dalam belajar bahasa itu seperti beo? Apakah dia meniru bulat-bulat dan hanya
sekedar mengulang kembali apa yang didengarnya?
Perkataan anak tidaklah selalu merupakan pengulangan searah persis apa yang didengarnya, seperti halnya beo. Cobalah anda amati atau minta seorang anak mengulang suatu tuturan yang dicontohlan. Anda akan menemukan bahwa tuturan anak cenderung mengalami perubahan. Perubahan itu daopat berupa pengurangan, penambahan, dan penggatian kata atau pengurutan susunan kata. Mengapat begitu?
Perkataan anak tidaklah selalu merupakan pengulangan searah persis apa yang didengarnya, seperti halnya beo. Cobalah anda amati atau minta seorang anak mengulang suatu tuturan yang dicontohlan. Anda akan menemukan bahwa tuturan anak cenderung mengalami perubahan. Perubahan itu daopat berupa pengurangan, penambahan, dan penggatian kata atau pengurutan susunan kata. Mengapat begitu?
Sedikitnya ada 2 penyebab. Penyebab
pertama, berkaitan dengan perkembangan otak, penguasaan kaidah bahasa, serta
alat ucap. Dengan demikian anak hanya akan mengucapkan tuturan yang telah
dikuasainya. Penyebab kedua, berkenaan dengan kreativitas berbahasa anak. Di
suastu sisim secsara bertahap dia dapat memahami dan menggunakan suastu sistem
bahasa yang memungkinkan dia mengerti dan memproduksi jumlah tuturan yang tak
terbatas. Keadaan ini mendorong anak senang melakukan percobaan atau eksperimen
dalam berbhasa . percobaan ini terus berlangsung sampai kemampuan berbahasanya
berpindah pada tingkat yang lebih kompleks.
Atas dasar itu pula, tampaknya sulit bagi
anak untuk meniru bulat-bulat tuturan orang dewasa. Mengapa? Sebab, apabila
anak berkonsentrasi pada tuturan tersebut maka perkembangan kemampuan
komunikasinya akan sangat terganggu. Hasilnya pun akan sangat terbatas
(MaCaualay, 1980).
Oleh karena itu tak
perlu heran apabila suatu ketika anda mendengar anak mampu memproduksi tuturan
yang belum penrah anda dengar sebelumnya. Hal ini terjadi karena dalam belajar
bahasa, seorang anak tidak sekedar menangkap kata-kata. Dia juga terutama
karena mencerna prinsip-prinsip organisasi bahasa secara alami. Dengan
demikian, sifast peniruan anak cenderung bersifat dinamis dan kreatif. Oleh karena strategi peniruan itu pula
maka model (orang) yang memberikan masukan kebahasaan kepada anak sangat
mempengaruhi corak bahasa yang baik. Sebaliknya, apabila modelnya kurang baik
maka versi bahasa yang kurang baik itulah yang akan dipelajarinya.
wastksdbrajaselebah.blogspot.com/.../pengertian-dan-teori-pemeroleh...
Referensi:
Harras, Kholid A. dan Andika Dutha
Bachari. (2009). Dasar-dasar Psikolinguistik. Bandung: UPI press.
Mar’at,
Samsunuwiyati. (2005). Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Refika
Aditama.
Ruqayyah.
(2008). Pemerolehan Bahasa Anak Usia 4-6 Tahun (Tinjauan tentang Jenis
Tindak Tutur yang Dikuasai Anak Usia 4-6 Tahun, Studi Kasus Anak Usia 4-6 Tahun
di Taman Kanak-kanak Al-mustaqim). [Online]. Tersedia:
http://massofa.wordpress.com/2008/11/19/pemerolehan-bahasa-anak-usia-4-6-tahun/
html (19 Mei 2009).
terima kasih sangat membantu
BalasHapusmakasih banyak
BalasHapusTERIMA KASIH BANYAK
BalasHapusTerima kasih sudah membantu. Tapi kenapa tidak ada bab penutupnya..
BalasHapus